My First Harry Potter Fan Fiction !

by - June 13, 2015

Ngomongin soal Harry Potter memang nggak ada habisnya. Ada aja yang dibahas. Apalagi nih tahun depan bakal rilis film Fantastic Beast. Nginget-nginget Harry Potter, saya jadi keingetan kalo dulu banget pernah bikin yang namanya fan fiction. Kebetulan saat itu saya memang lagi doyan-doyannya baca baca fanfic Harry Potter. Karena itu nggak heran juga kalo tangan saya gatel buat ikutan bikin. Tapi saya belum berani buat post di fanfiction.net. Hehe. Sudah pernah sih posting di notes Facebook  (19 April 2011) dan blog saya yang lama (sudah saya hapus). Nah biar tetap abadi dan nggak hilang plus dibaca sama pembaca blog saya yang nyasar, berikut ini saya persembahkan fanfic Harry Potter pertama saya. Jeng...jeeeeng....



Genre : Romance
Pairing : Dramione (draco/Hermione)
Disclaimer : 'Harry Potter' belongs to JK Rowling


        Ia mengawasinya. Meskipun tampaknya tidak, tetapi ia selalu memperhatikannya, menatapnya, memandangnya. Di Aula Besar, di dalam kelas, pertemuan prefek, bahkan ia pun rela membuntutinya di perpustakaan. Tak seorangpun tahu kebiasaannya selama 6 tahun ini. Enam tahun bukan waktu yang sangat singkat. ‘mudblood sialan’ batinnya tiap kali ia sadar dari pikirannya yang dipenuhi Nona-Tahu-Segala. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengatasi kebiasaannya ini. Selalu terbesit di hati dan pikirannya bahwa ia ingin sekali mendekati darah lumpur itu. Oh tidak, tidak. Bahkan membayangkannya pun ia tak sanggup. Bukannya ia tidak mau melakukannya. Itu hal yang mudah bagi dirinya, seorang Pangeran Slytherin. Tapi itu tidak mungkin. Ia pureblood, darah  Malfoy mengalir di tiap nadinya. Tidak ada yang bisa membayangkan seorang Malfoy, bangsawan Darah Murni tersohor, ternyata mengagumi seorang kelahiran Muggle-Darah Lumpur-Granger.
          “Hey Draco !”, panggilan itu membuyarkan lamunannya.
          “Kau tidak apa-apa?”, tanya Blaise Zabini sambil meletakkan telapak tangannya di dahi Draco.
          “Aku tidak apa- apa Blaise..”,sahutnya sambil menyingkirkan tangan Blaise dari dahinya.
       “Oke kalau begitu. Ayo kita segera ke lapangan Quidditch. Anggota tim sudah berkumpul di sana. Kau tidak ingin jadi sasaran kemarahan mereka karena terlambat,  heh?”
Draco mengikuti Blaise dengan malas. Ia benar-benar malas untuk latihan Quidditch. Percuma saja mereka berlatih mati-matian. Toh, sudah tradisi Hogwarts, Griffyndor-lah yang selalu memenangkan Piala Quidditch, dan Slytherin selalu berada di posisi kedua diikuti Hufflepuff dan Ravenclaw.



          “Latihan untuk hari ini sudah cukup”, pidato singkat dari Blaise melegakan Malfoy.
Oh, terima kasih Merlin. Akhirnya latihan keparat ini selesai juga. Umpatnya dalam hati. Saat ia hendak menuju ke dalam kastil, Blaise memanggilnya. 
          “hey, Draco. Ada apa denganmu?”. Malfoy memandang Blaise dengan bingung.
        “ada apa? Memang ada apa denganku Blaise? Aku baik-baik saja. Mungkin kau yang tidak sedang baik karena dari tadi kau terus menerus menanyaiku ada apa denganku.”
       “tidak Draco. Aku kenal betul denganmu. Akhir-akhir ini kau sering sekali melamun. Atau dengan kata lain, otakmu sedang jalan-jalan meninggalkan kepalamu. Tolong Draco. Pertandingan sudah di depan mata. Lima  hari lagi kawan. Bisakah kau konsentrasi sedikit pada pertandingan kita ini?” cerocos Blaise.
Tidak, dengan pikiranku yang dipenuhi Mudblood itu Blaise.
         “asal kau tahu Blaise, aku sudah berkonsentrasi penuh pada Quidditch”, jawab Draco geram dengan tuduhan Blaise.
         “berkonsentrasi katamu? Merlin, tak satupun Quaffle yang kau masukkan ke gawang Draco. Tak satupun. Kualitasmu memburuk Draco.”
         “terserahlah”, Draco meninggalkan Blaise di lapangan. Ia benar-benar tidak terima dengan tuduhan Blaise. Tapi, apa yang dikatakan Blaise memang benar. Ia payah. Ada yang tak beres dengan otaknya. Menjelang tahun ke-6 ini, ia benar-benar aneh, ia tak bisa mengontrol pikirannya untuk tidak memikirkan Herminoe Jane Granger. Benar-benar tak bisa.


            Hari sudah gelap saat ia selesai membersihkan diri dari latihan Quidditch tadi. Ia memutuskan untuk melewatkan makan malam di Aula Besar. Ia harus segera menyelesaikan tugas Arithmancy-nya yang harus dikumpulkan besok. Perpustakaanlah tujuannya saat ini.
          Perpustakaan sangat sepi saat ia memasukinya. Bahkan Madam Pince pun tak ada di tempat. Tidak heran, karena sekarang semua murid dan guru pasti sudah turun ke Aula Besar. Draco segera menuju ke bagian buku yang dibutuhkannya untuk menyelesaikan tugasnya. Setelah mendapatkan buku yang dicarinya, ia segera mencari tempat duduk untuk mnyelesaikan tugasnya dengan tenang. Ia memilih tempat yang berada di sudut ruangan.
            Dua setengah jam tak terasa telah berlalu. Tapi, Draco hanya bisa menyelesaikan setengah dari keseluruhan tugasnya. Berulang kali ia mengutuk dalam hati. Memang ia murid yang bisa dikategorikan cukup pintar. Tentu saja masih berada di bawah Nona-Tahu-Segala.
          “kesulitan mengerjakan PR-mu Malfoy?”, tanya Herminoe yang dengan tidak sengaja melihat wajah Draco yang terlihat kacau karena tak dapat menyelesaikan tugas Arithmancy-nya. Draco tersentak mendengar suara Hermione.
        “bagaimana kelihatannya Granger? Lebih baik kau menyingkir saja daripada hanya mengganggu konsentrasiku.”
         “oke kalau itu maumu. Selamat mengerjakan Malfoy”, ejek Hermione sambil melangkah pergi meninggalkan Draco.
          “Dasar darah lumpur”, desis Draco
           “maaf. Kau mengatakan sesuatu Malfoy.”
           “Apa kau mendengar sesuatu Granger?.”
           “ya” , jawab Hermione kesal.
           “Enyahlah.”
Mendengar jawaban Draco, Hermione hanya bisa mengerutkan dahinya dan menahan keinginan untuk tidak merapalkan mantra pada Draco. Kemudian, ia buru-buru pergi agar tidak terjadi hal-hal lain yang mungkin akan berakibat fatal nantinya.
          Bodoh. Bodoh. Apa yang kau katakan barusan Draco. Kau memanggilnya Darah-Lumpur ‘lagi’. Tahukah kau bagaimana bencinya gadis itu dengan panggilan itu?
Draco mengutuk dirinya sendiri. Ia memang tidak tahu sikap dan tingkah apa yang harus dia lakukan saat bertemu Hermione. Haruskah ia tetap bersikap menyebalkan ataukah ia harus mulai berdamai dengan gadis itu. Mendekatinya mungkin. Oh, pilihan yang sulit.
          Menyerah dengan soal-soal yang belum terjawab dan tuntutan untuk segera pergi tidur, Draco memutuskan untuk kembali ke asramanya. Dia tidak peduli dengan PR nya saat ini. Toh, dia sudah berusaha untuk mengerjakannya, dan inilah hasilnya.



          
Brukkk !!!
         “Ouucch !!!”
        “Siaaal. Dasar dinding bodoh. Tidak bisa melihat ada orang sedang jalan heh? ”, kutuk Draco kepada dinding yang tak sengaja ditrabaknya sambil mengusap-usap kepalanya yang terbentur dinding. Maklumi sajalah jika seorang Draco Malfoy melakukan hal bodoh seperti menabrak dinding. Dia dalam keadaan setengah sadar, matanya benar-benar tidak dapat diajak kompromi saat itu. Ia benar-benar mengantuk.
         “hahahaha, dasar bodoh !! dindingnya tidak salah Malfoy. Kaulah yang bodoh. dinding itu sudah berada disitu sejak Profesor Dumbledore belum lahir”, ejek Hermione.
        “Tutup mulutmu Granger. Aku tidak ingin mendengar dongengmu tentang sejarah Hogwarts. Aku hanya ingin kembali ke asramaku. Oke?. Selamat malam Granger”
Hermione hanya diam terpaku. Wow, apa yang terjadi padanya? Dia mengucapkan selamat malam padaku? Ah, mungkin itu hanya efek dari rasa kantuknya. Sehingga ia tidak sadar dengan apa yang dikatakannya tadi. Pikir Hermione dalam hati.
Yeah, bagus Draco. Memang itulah yang harus kau lakukan. Berhenti adu mulut dengannya dan bersikaplah tenang, batin Draco.

          Di ruang rekreasi Slytherin ternyata masih terlihat beberapa murid tahun ke 5. Kelihatannya mereka masih sibuk dengan OWL yang harus mereka hadapi. Yah, maklumlah. Jika ada OWL, itu berarti jam belajar akan bertambah dengan sendirinya. Mereka menoleh ke arah Draco saat Draco memasuki ruang rekreasi, kemudian kembali menggeluti buku mereka. Draco segera menuju ke kamarnya. Di dalam kamar, semua teman-temannya sudah terlelap. Bahkan Blaise yang biasanya tidur paling akhir sekarang sudah tidur. Mungkin efek dari latihan Quidditch tadi. Draco segera melepas seragamnya dan berganti dengan piyamanya. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Lumayan untuk hari ini. Karena aku dapat berbicara dengan Granger, pikirnya. Ia memejamkan matanya, dan tak lama ia sudah terlelap.


          “Hey, Draco. Bangunlah. Kalau tidak, kita akan terlambat sarapan. Kau tidak ingin melewati pelajaran Arithmancy dengan perut kosong kan?. Ayolah cepat !”, Blaise membangunkan Draco dengan mengguncang-guncang tubuhnya.
          “oh, Blaise. Aku masih ingin tidur. Tahukah kau kemarin aku tidur terlambat?”
          “kalau kau ingin tidur, ya silahkan saja. Tapi jangan salahkan aku jika pagi ini kau tidak akan mendapat sarapan. Oke. Aku pergi dulu”.

Setelah Blaise keluar dari kamar, Draco segera bersiap-siap untuk turun ke Aula Besar. Ia tidak ingin ambil resiko menghadapi pelajaran dengan perut kosong.
Sesampainya di Aula Besar ia segera menuju ke meja Slytherin. Sebagian besar teman-temannya ternyata masih memenuhi meja itu. Ia duduk di samping Blaise. Dari tempatnya duduk, ia dapat melihat Hermione. Seperti biasa, di kanan kirinya selalu ada Potter dan para Weasley. Tapi keberadaan Potter dan para Weasley bukanlah suatu masalah yang besar bagi Draco. Sekarang yang menjadi masalah adalah Hermione. Karena dialah penyebab semua kegalauan hatinya.
          “Merlin ! Draco, kau mendengar apa yang barusan kukatakan tadi? Lagi-lagi kau seperti ini. Jangan suka melamun kawan. Kau tidak ingin Baron Berdarah ada dalam tubuhmu eh?”
        “ap.. apa Blaise? Memangnya kau tadi bilang apa?. Baron Berdarah? Memang apa yang dilakukan oleh hantu itu? mengerjai hantu asrama Gryffindor?”
          “merlin ! aku tidak sedang membicarakan tentang hantu asrama. Aku sedang membicarakan tentang Quidditch.”
          “oh....”
          “oh ? enteng sekali kau menanggapinya? ”
          “lalu aku harus apa Blaise?”
          “berhenti melamun, dan fokus. Oke?”
          “aku sudah fokus”
          “tidak. Kau tidak fokus. Bukan Quaffle yang ada di otakmu. Tapi yang lain. Dan aku tidak tahu itu apa. Pasti sesuatu yang sangat hebat. Karena belum pernah ada hal lain yang bisa membuatmu berpaling dari Quidditch. Kau ada masalah?”
         “tidak Blaise. Aku tidak punya masalah. entahlah” , Draco menghembuskan nafas panjang kali ini. Ia bingung haruskah ia bercerita tentang ini pada BlaiseTapi, apa tanggapan Blaise nanti? Ah, pasti itu bukan suatu masalah yang besar bagi Blaise. Daridulu Blaise dan ibunya tidak pernah mempermasalahkan status darah. Keluarga Zabini adalah keluarga netral. Ya, mungkin aku bisa bercerita padanya kapan- kapan.
       “Baiklah, jika kau memang tidak ingin menceritakannya padaku. Ayo, pelajaran Arithmancy akan segera dimulai” , ajak Blaise.


        Semua murid asrama Slytherin mengeluh setelah keluar dari kelas Arithmancy. Mereka memaki-maki Profesor Anna Vektor dan semua murid asrama Gryffindor. Mereka tidak terima harus kehilangan 70 poin, sedangkan Gryffindor malah mendapat 30 poin. Semua itu dikarenakan seluruh murid Slytherin, kecuali Draco Malfoy, tidak mengerjakan PR Arithmancy mereka. Sebenarnya, mereka cukup bersyukur karena hanya dipotong 70 poin tanpa bonus detensi.
       “Gryffindor sialan! Bisa-bisanya mereka mendapat 30 poin, dan kita rugi 70 poin?!”kata Millicent sambil mengepalkan kedua tangannya dan memukulkannya ke udara. “Awas kau Gryffindor! Draco, hancurkan Gryffindor saat Quidditch nanti!”
          “yeah, tenang saja, aku pasti menghancurkan mereka. Sang Ular akan menang melawan Singa !!”, kata Draco keras-keras dan disusul oleh sorak sorai murid-murid Slytherin yang lain.
Murid-murid Gryffindor yang ada di sekitar mereka hanya menunjukkan tatapan Oh-Tidak-Mungkin-Kalian-Mengalahkan-Kami. Ron yang juga mendengar kata-kata Draco , tanpa berpikir hendak menghampiri Draco. Tapi untung saja Hermione segera mencegahnya.
          “Ron, jangan ceroboh !” kata Hermione kesal.
       “Tapi ‘Mione, mereka sudah mengejek tim kita. Aku tidak terima. Ular tidak akan pernah menang melawan Singa”.
          “Sudahlah Ron. Jangan terpancing dengan omong kosong mereka. Mereka hanya ingin membuat kita emosi”
        “itu benar Ron. Yang penting, kita buktikan saja pada mereka saat pertandingan nanti.” Sambung Harry



Kenapa? Kenapa Draco sama Hermione? Ya maklum, karena saya memang pecinta Dramione. Hehehe. So, what do you think guys? Kepikiran sih buat ngelanjutin, tapi apa daya ._. Semoga suatu saat bisa lanjut. (y)

You May Also Like

4 komentar

  1. hahahahha....lucu wek, aku juga nulis fanfic juga, fanfic nya 1D of course!. Aku nulis di wattpad dulu dan dapet reader+respon bagus...karena berhenti di tengah-tengah, akhirnya aku turunin tu fanfic. Sampai sekarang masih ngelanjutin, tapi takut tak publish karena terlalu vulgar *wekekekekkee... :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. hwkwk aduh ndin njadi malu >.< hwkwk.
      oyaa? hehehe. Aku malah gak pede mau publish di wattpad ._.
      aah gak apa post aja kali. eh tapi kalo mau post fanfic seru di fanfiction.net aja ndin.

      Delete
    2. ahahahha...gapapa kali wek, sesama penulis fanfic, I know what u feel..

      aku takut kena society judgment..wkwkwkwk imajinasi 1D yang terlalu liarr...hahahahahahahahaha

      Delete
    3. gapapa coba post aja. ntar kan ketauan gimana responnya orang orang ndin. hehehe

      Delete